Memecah Kebisuan: Apakah Tiongkok Benar-Benar Membiarkan Yuan Menguat?

Memecah Kebisuan: Apakah Tiongkok Benar-Benar Membiarkan Yuan Menguat?

Memecah Kebisuan: Apakah Tiongkok Benar-Benar Membiarkan Yuan Menguat?

Selama bertahun-tahun, melacak nilai tukar mata uang Tiongkok, Renminbi (RMB) atau Yuan, terasa sesunyi mengamati cat mengering. Fluktuasinya nyaris tidak ada, pergerakannya terukur, dan di mata banyak pengamat ekonomi global, RMB telah lama dianggap undervalued secara material. Konsekuensi dari kebijakan ini adalah surplus perdagangan Tiongkok yang membengkak secara konsisten, memaksa bank sentral negara itu, People's Bank of China (PBoC), untuk melakukan intervensi masif di pasar valuta asing. Intervensi ini bertujuan tunggal: mencegah RMB menguat terhadap mata uang asing lainnya. Namun, pertanyaan mendasar kini mulai muncul ke permukaan: apakah ada pergeseran dalam pendekatan Tiongkok? Apakah Tiongkok kini benar-benar membiarkan RMB menguat?

Sejarah Stabilitas Terkelola: Sebuah Pedang Bermata Dua

Sejak reformasi ekonomi Tiongkok dimulai, stabilitas nilai tukar RMB telah menjadi pilar utama strategi pembangunan negara. Sebuah RMB yang lemah atau undervalued secara strategis memberikan keuntungan kompetitif yang luar biasa bagi eksportir Tiongkok. Barang-barang Tiongkok menjadi lebih murah di pasar internasional, memacu pertumbuhan ekspor, mendorong industrialisasi, dan menarik investasi asing langsung (FDI) yang masif ke sektor manufaktur. Ini adalah resep sukses yang membantu Tiongkok bertransformasi menjadi "pabrik dunia."

Namun, di balik layar kesuksesan ekspor, kebijakan ini juga menciptakan ketidakseimbangan yang signifikan. Surplus perdagangan yang terus-menerus membesar berarti Tiongkok mengakumulasi cadangan devisa asing dalam jumlah triliunan dolar. Untuk mempertahankan RMB tetap rendah, PBoC secara teratur membeli mata uang asing, terutama dolar AS, di pasar terbuka. Tindakan ini secara efektif menyuntikkan lebih banyak RMB ke dalam sistem keuangan domestik. Tanpa tindakan sterilisasi yang hati-hati—seperti menjual obligasi untuk menyerap kelebihan likuiditas—ini dapat memicu inflasi. Lebih jauh lagi, kebijakan ini menimbulkan kritik keras dari mitra dagang Tiongkok, khususnya Amerika Serikat, yang sering menuduh Tiongkok sebagai manipulator mata uang, menciptakan praktik perdagangan yang tidak adil, dan memperparah defisit perdagangan global.

Dilema Ekonomi: Tekanan Internal dan Eksternal untuk Revaluasi

Tiongkok kini menghadapi dilema yang semakin kompleks. Di satu sisi, mempertahankan RMB yang undervalued masih menawarkan keuntungan bagi sektor ekspor tertentu, terutama saat ekonomi global menghadapi ketidakpastian. Namun, di sisi lain, ada tekanan yang meningkat baik dari dalam maupun luar negeri untuk memungkinkan RMB menemukan tingkat yang lebih seimbang.

Secara internal, Tiongkok berupaya mengubah model ekonominya dari yang sangat bergantung pada investasi dan ekspor menjadi lebih didorong oleh konsumsi domestik dan inovasi. RMB yang lebih kuat akan membuat barang impor menjadi lebih murah, meningkatkan daya beli konsumen Tiongkok, dan mendorong konsumsi. Ini juga akan membantu Tiongkok bergerak naik dalam rantai nilai global, beralih dari memproduksi barang murah ke produk dan layanan bernilai tambah tinggi. Selain itu, RMB yang lebih kuat dapat membantu mengendalikan inflasi impor, terutama untuk komoditas dan energi yang harganya berfluktuasi di pasar global.

Secara eksternal, tekanan dari negara-negara maju untuk revaluasi RMB tidak pernah surut. Sebuah RMB yang lebih kuat akan membantu mengurangi ketidakseimbangan perdagangan global dan mungkin meredakan ketegangan geopolitik. Keterlibatan Tiongkok yang semakin besar dalam organisasi ekonomi global dan keinginannya agar RMB diakui sebagai mata uang cadangan internasional yang signifikan, seperti yang terlihat dari masuknya RMB ke dalam keranjang SDR (Special Drawing Rights) IMF, juga menuntut transparansi dan fleksibilitas nilai tukar yang lebih besar. Tiongkok ingin RMB memainkan peran yang lebih sentral di panggung keuangan global, dan untuk itu, stabilitas bukan berarti kekakuan, melainkan pergerakan yang terkelola sesuai dengan fundamental ekonomi.

Sinyal-Sinyal Pergeseran: Lebih dari Sekadar Cat Mengering

Dalam beberapa periode terakhir, pengamat pasar mulai mencatat adanya tanda-tanda bahwa PBoC mungkin memang sedikit "melonggarkan kendali." Alih-alih intervensi agresif yang terus-menerus, PBoC tampaknya lebih nyaman dengan pergerakan dua arah RMB. Ini tidak berarti Tiongkok akan beralih ke sistem nilai tukar yang sepenuhnya mengambang bebas dalam waktu dekat, melainkan adopsi pendekatan yang lebih fleksibel dan berorientasi pasar.

Salah satu sinyalnya adalah bagaimana PBoC menetapkan titik tengah harian (daily fixing rate) untuk RMB. Meskipun penetapan ini masih di bawah kendali ketat bank sentral, pergerakannya kadang kala menunjukkan kecenderungan untuk mengikuti tren pasar secara lebih dekat. Selain itu, perluasan pita perdagangan harian (daily trading band) untuk RMB, meski masih dalam batas yang terkontrol, memberikan ruang bagi kekuatan pasar untuk sedikit lebih banyak memengaruhi nilai tukar. Tiongkok juga telah mengambil langkah-langkah untuk membuka pasar keuangan domestiknya, menarik investasi asing ke dalam obligasi dan ekuitas Tiongkok. Aliran modal masuk ini, jika tidak diimbangi, secara alami akan menekan RMB untuk menguat. Jika Tiongkok mengizinkan sebagian dari tekanan ini terealisasi, itu adalah indikasi yang jelas bahwa mereka bersedia menerima apresiasi RMB.

Pandemi global dan respons ekonomi Tiongkok yang relatif kuat dibandingkan negara-negara lain juga telah berkontribusi pada kekuatan RMB. Dengan ekspor Tiongkok yang melonjak untuk memenuhi permintaan global akan peralatan medis dan produk elektronik, dan masuknya investasi asing yang stabil, fundamental ekonomi mendukung RMB yang lebih kuat. PBoC mungkin melihat ini sebagai kesempatan yang tepat untuk memungkinkan apresiasi bertahap tanpa menimbulkan gejolak yang signifikan.

Implikasi Kenaikan RMB: Tiongkok dan Ekonomi Global

Jika Tiongkok benar-benar mengizinkan RMB menguat secara bertahap, implikasinya akan terasa luas, baik di dalam negeri maupun di seluruh dunia. Bagi Tiongkok, RMB yang lebih kuat akan memacu transformasi ekonominya. Industri-industri yang tidak efisien dan sangat bergantung pada nilai tukar yang menguntungkan mungkin akan menghadapi tantangan, mendorong mereka untuk berinovasi dan meningkatkan efisiensi. Konsumen Tiongkok akan menikmati daya beli yang lebih tinggi, mendorong konsumsi dan mendukung sektor jasa. Ini adalah langkah penting menuju ekonomi yang lebih seimbang dan berkelanjutan.

Di panggung global, RMB yang lebih kuat akan membantu mengurangi ketidakseimbangan perdagangan yang telah lama menjadi sumber ketegangan. Barang-barang Tiongkok akan menjadi sedikit lebih mahal, memberikan sedikit ruang bagi produsen di negara lain untuk bersaing. Ini juga dapat memengaruhi pasar komoditas, karena impor Tiongkok yang menjadi lebih murah dalam mata uang lokal dapat meningkatkan permintaan. Lebih jauh, jika RMB menjadi mata uang yang lebih bebas diperdagangkan dan stabil dalam nilainya, ini akan mempercepat perannya sebagai mata uang cadangan global, menawarkan alternatif yang kredibel bagi dolar AS dan berkontribusi pada sistem moneter internasional yang lebih multipolar.

Namun, penting untuk ditekankan bahwa Tiongkok cenderung melakukan perubahan dengan hati-hati dan bertahap. PBoC tidak mungkin melepaskan kendali penuh atas nilai tukar dalam waktu dekat, karena stabilitas masih menjadi prioritas utama. Setiap apresiasi RMB kemungkinan akan menjadi proses yang terkelola dengan cermat, menimbang keuntungan dan kerugian, serta memantau dampak pada pertumbuhan ekonomi dan stabilitas keuangan. Perjalanan RMB dari "cat mengering" menjadi mata uang yang dinamis namun terkelola adalah babak baru yang menarik dalam narasi ekonomi global.

WhatsApp
`